MASYARAKAT Bugis Makassar adalah masyarakat yang suka membuat perjanjian (Bugis : Ulu Ada’, Makassar : Ulu Kana),
bukan hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam konteks
kehidupan politik berpemerintahan. Terbentuknya kerajaan dan
diangkatnya Tomanurung menjadi raja pertama dalam banyak catatan
lontaraq selalu diawali dengan perjanjian atau kontrak politik, sebuah
ikatan janji antara pemimpin dengan rakyatnya. Ini berarti sudah ada
rekam jejak kehidupan demokratis di masa lampau meski pemerintahan
berjalan atas dasar sistem kerajaan.
Secara harfiah, Ulu Ada’ (Bugis) atau Ulu Kana (Makassar) berarti
pangkal pembicaraan. Kata ini dimaknai sebagai Perjanjian. Misalnya
Perjanjian di Tamalate (Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate’, Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate).
Saya periksa semua kata yang digunakan untuk menamai suatu perjanjian
antar raja dan kerajaan, umumnya menggunakan kata “Ulu“ (kepala) dan
“Cappa“ (Ujung). Penggunaan dua kata ini bermakna sangat serius atau
menegaskan bahwa perjanjian yang dilakukan bukanlah suatu hal yang
main-main, karena itu harus sama – sama ditaati. Orang atau raja yang
melanggar perjanjian biasanya akan diumpat sebagai seseorang yang tidak
punya kepala (Ulu). Biasa kita mendengar ungkapan yang menyatakan, “tau tena kulle nitanggala ulunna“ atau “tau tena kulle niteteng ulu kananna“, yang berarti umpatan terhadap seseorang yang tidak bisa dipegang kata – katanya.
Dalam pemahaman yang lain, Perjanjian dalam bahasa bugis disebut Ulu Ada’.
Penggunaan kata ini saya berusaha memahaminya bahwa suatu perjanjian
bukan hanya sekedar memegang kata – kata, tetapi juga berarti memegang
adat atau ‘pangngaderreng’ karena adat menganjurkan seseorang itu lempu’ dan getteng
(jujur dan teguh hati). Jadi, seseorang yang melanggar perjanjian
dapat diumpat sebagai seseorang yang juga tidak beradat, dalam
pemahaman Bugis. Mungkin ini pulalah sebabnya kenapa dalam perjanjian
persahabatan atau gencatan senjata, selalu dimasukkan butir atau pasal
agar yang berjanji sama – sama memegang teguh adat masing – masing dan
tidak merusak adat negeri lain. Biasa pula diungkapkan dengan
bahasa,“tidak mencampuri urusan dalam negeri masing – masing“, karena
tiap negeri punya adat yang berbeda, termasuk diantaranya tidak boleh
mencampuri pewarisan takhta (ulaweng matasa pattola malampe).
Contoh mengenai hal ini dapat dilihat pada Perjanjian Tamalate (Bugis : Ulu Adae’ ri Tamalate, Makassar : Ulu Kanayya ri Tamalate)
pada masa pemerintahan Raja Bone VI, La Uliyo Botee Matinroe ri
Itterung (1519 – 1544) dan Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng
Tumapakrisika Kallonna (1512-1548). Ulu Adae ri Tamalate yang terjadi
pada Tahun 1540 ini merupakan perjanjian persahabatan antara Gowa
dengan Bone. Pasal – pasal dalam Perjanjian ini melukiskan betapa
indahnya persaudaraan antara Bone dengan Gowa, dua kerajaan terkemuka
penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan. Namun
masa damai antara keduanya hanya berlangsung selama 24 Tahun (1538 –
1562), sebelum terjadinya serangan militer pertama Gowa ke Bone pada
tahun 1562 yang didahului dengan peristiwa sabung ayam ’Manu Bakkana
Bone vs Jangang Ejana Gowa’. (lihat catatan : Manu’)
Sebagaimana perangnya yang luar biasa, masa perang Gowa Vs Bone
berlangsung dari tahun 1562 – 1611 sampai tiba masanya Arung Palakka
menggandeng Speelman (Belanda) memerdekakan Bone-Soppeng dari
Penjajahan Gowa, persahabatan yang dilalui Gowa dan Bone juga sangat
luar biasa. Peristiwa pembukaan hubungan diplomatik pertama antara Gowa
dan Bone (1538) bahkan diupacarakan dengan acara memperhadapkan
senjata sakti kedua kerajaan, Lateariduni (kelewang arajang, senjata pusaka) Bone dan Sudanga
(kelewang kalompoang, senjata pusaka) Gowa di Laccokong dimana Raja
Gowa pertama kali menginjak Tana Bone. Kunjungan balasan Raja Bone, La
Uliyo Botee ke Gowa inilah yang kemudian melahirkan “Ulu Adae ri
Tamalate“ yang bunyi perjanjiannya juga sangat luar biasa :
1. Narekko engka perina Bone, maddaungngi tasie naola Mangkasae, Narekko engka perina Gowa makkumpellei bulue’ naoia to Bone.
(Kalau Bone terancam bahaya musuh, maka berdaunlah lautan dilalui orang
Makassar, kalau Gowa terancam bahaya musuh maka ratalah gunung dilalui
orang Bone).
2. Tessinawa – nawa majaki, tessipatingarai kanna Bone Gowa, tessiacinnaiyangngi matasa pattola malampe.
(Tidak akan saling berprasangka buruk, tidak akan saling menyerang, Bone-Gowa, dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri).
3. Iyyasi somperengngi Gowa, iyyasi manai ada torioloe, iyyasi somperengngi Bone, iyyasi manai ada torioloe’.
(Siapa saja yang melayarkan bahtera Gowa, maka dialah yang mewarisi
amanat leluhur ini dan siapa saja yang melayarkan bahtera Bone, maka
dialah yang mewarisi amanat leluhur ini).
4. Niginigi temmaringngerang riada torioloe, mareppai urikkurinna, lowa – lowanna, padai tello riaddampessangnge ri batue tanana.
(Siapa saja yang tidak mengingat amanat leluhur ini maka pecahlah
periuk belanganya, negeri, seperti telur dihempaskan ke atas batu).
Perjanjian ini saya anggap suatu perjanjian yang luar biasa, butir –
butir perjanjian ini seandainya dilaksanakan oleh penerus takhta Gowa
dan Bone, sejarah akan bercerita lain. Namun, kata banyak orang,
perjanjian memang dibuat untuk dilanggar. Dan di banyak catatan
lontaraq, akhirnya kitapun mendapati puluhan perjanjian yang mengiringi
Ulu Adae ri Tamalate ini. Ada perjanjian yang disebut Ulu Kanayya ri Caleppa
(Bugis : Ulu Adae ri Caleppa) sebagai buntut serangan militer keempat
Gowa ke Bone (1565) yang berakhir dengan gencatan senjata. Perang yang
dimenangkan oleh Bone tersebut kemudian diperbaharui lagi perjanjiannya
lewat suatu kesepahaman bersama, yang oleh Gowa disebut Kana-kanayya iwarakanna Bone (Perjanjian di Utara Bone).
Perjanjian – perjanjian lainpun terus berlanjut. Pihak Bone pun kemudian memprakarsai pembentukan triaple alliance, “Mattellumpocoe ri Timurung“
(1572), antara Bone, Soppeng dan Wajo sebagai penyatuan kekuatan bugis
mengantisipasi serangan Gowa yang semakin menggila ingin menjadi
penguasa tak tertandingi di semenanjung barat dan timur Sulawesi
Selatan. Berdasarkan pengalaman pahit dari tahun ke tahun yang harus
dilalui Bone akibat serangan militer Gowa dan gangguan militer Luwu,
maka Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge didampingi oleh penasehat ulung
kerajaan, Kajao Laliddong, berupaya memperkuat benteng pertahanan Bone
untuk menghadapi kemungkinan serangan militer Gowa dan Luwu. Dengan
pendekatan diplomatik La Tenrirawe Bongkangnge berhasil membentuk
kekuatan bersama antara Bone, Soppeng dan Wajo, di Kampung Bunne
Timurung, Bone Utara pada tahun 1572.
Upacara pembentukan triple alliance tersebut dihadiri oleh
delegasi dari masing – masing kerajaan dari Bone, Soppeng dan Wajo :
Kerajaan Bone, diwakili langsung oleh rajanya La Tenrirawe Bongkangnge,
pensehat kerajaan Kajaolaliddong dan pembesar – pembesar Kerajaan Bone
lainnya, Kerajaan Wajo, dipimpin langsung oleh La Mungkace Touddamang
Arung Matowa, Pillae, Cakkuridie, Pattolae, dan pembesar – pembesar
Kerajaan Wajo lainnya, dan Kerajaan Soppeng, diwakili oleh La
Mappaleppe Pong Lipue, Datu Soppeng Arung Bila, Arung Pangepae, dan
Arung Paddanrenge”.
Tellumpoccoe ri Timurung menetapkan prinsip – prinsip kesepakatan sebagai berikut :
1. Malilu sipakainge, rebba sipatokkong, siappidapireng riperi nyameng ;
(Memperingati bagi mereka yang tidak mentaati kesepakatan, saling
menegakkan jika ada yang tersungkur dan saling membantu dalam suka
duka).
2. Tessibaiccukang, tessiacinnaiyang ulaweng matasa, pattola
malampe, waramparang maega pada mallebang risaliweng temmallebbang ri
laleng.
(Tidak akan saling mengecilkan peran, tidak akan saling menginginkan
perebutan takhta dan penggantian putera mahkota dan tidak saling
mencampuri urusan dalam negeri masing – masing).
3. Teppettu – pettu siranreng sama – samapi mappettu, tennawawa
tomate jancitta, tennalirang anging ri saliweng bitara, natajeng
tencajie. Iya teya ripakainge iya riduai, mau maruttung langie, mawoto
paratiwie, temmalukka akkulu adangetta, natettongi Dewata Seuwae .
(Tidak akan putus satu – satu melainkan semua harus putus, perjanjian
ini tidak batal karena kita mati dan tidak akan lenyap karena
dihanyutkan angin keluar langit, mustahil terjadi. Siapa yang tidak mau
diperingati, dialah yang harus diserang kita berdua. Walaupun langit
runtuh dan bumi terbang, perjanjian ini tidak akan batal dan disaksikan
oleh Dewata SeuwaE).
4. Sirekkokeng tedong mawatang, sirettong panni, sipolowang poppa, silasekeng tedong siteppekeng tanru tedong.
(Saling menundukkan kerbau yang kuat, saling mematahkan paha, saling
mengebirikan kerbau. Artinya mereka akan saling memberikan bantuan
militer untuk menundukkan musuh yang kuat).
5. Tessiottong waramparang, tessipalattu ana parakeana.
(Tidak akan saling berebutan harta benda dan berlaku bagi generasi penerus).
Substansi kesepakatan perjanjian diatas menunjukkan bahwa ketiga
kerajaan, Bone, Soppeng dan Wajo secara sadar membentuk pakta
pertahanan militer untuk menghadapi musuh bersama mereka. Dengan
demikian Tellumpoccoe ri Timurung merupakan kekuatan ketiga di kawasan Sulawesi Selatan disamping Gowa dan Luwu pada masa itu.
Perjanjian “Mattelempoccoe ri Timurung“ pun mengalami pasang
surut kesepahaman diantara ketiga kerajaan tersebut hingga melahirkan
lagi perjanjian – perjanjian kecil seiring perkembangan kekuasaan di
semenanjung timur serta ekspansi yang luar biasa dari Kerajaan Gowa. Di
belakang hari, Wajo memisahkan diri dan mengakui Karaeng Gowa sebagai
penguasa atasannya. Arung Palakka sendiri sebelum melarikan diri ke
Buton masih sempat mengadakan perjanjian di Atappang yang disebut “Pincara Lopie’ ri Atappang“ (1660) sebagai upaya mempersatukan kembali Bone dan Soppeng dalam melawan Gowa.
Raja Gowa Sultan Alauddin (Daeng Manrabia Tumenanga ri Gaukanna) sendiri memakai Ulu Ada’ (Perjanjian) masa lalu, antara kerajaan Makassar dengan Kerajaan-kerajaan Bugis di semenanjung timur yang menyebutkan bahwa “Siapa saja kelak yang mendapatkan petunjuk dan jalan hidup yang lebih baik, maka yang satu harus memberitahukan yang lain“. Atas dasar Ulu Ada’ inilah yang dipakai sebagai alasan perang pengislaman
yang dalam sejarah disebut “Bundu Kasallangan“ (Bugis : Musu
Sellenge’) untuk mengislamkan kerajaan – kerajaan lain yang belum
memeluk Islam.
Raja Gowa (Karaeng Gowa) menganggap bahwa Ulu Ade’ itu harus
diberlakukan dan ditaati, dan jalan hidup yang lebih baik itu adalah
Islam. Meskipun Raja Bone La Tenrirua memahami dan menyetujui maksud
pengislaman tersebut namun rakyat dan Dewan Hadat Bone tidak
menaatinya. Bagi rakyat Bone, dengan serangan militernya bertahun –
tahun sampai kemudian ditaklukkan Bone oleh Gowa (1611) menganggap
bahwa apa yang dilakukan Karaeng Gowa tak lebih dari sebuah bentuk
penjajahan suatu negara terhadap negara yang berdaulat. Belum lagi
pengerahan tenaga kerja paksa sebanyak 40.000 rakyat Bone – Soppeng ke
Gowa dalam membangun Benteng – benteng Makassar adalah fakta lain yang
sangat menyakitkan Bone – Soppeng.
Penindasan dan kerja paksa ribuan rakyat Bone – Soppeng inilah yang
kemudian membangkitkan semangat perlawanan Arung Palakka dalam
membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa. Dalam Sejarah perlawanan
dan pelarian Arung Palakka baik di negeri sendiri, di Buton maupun saat
berada di Batavia, ada begitu banyak perjanjian / ikrar dan sumpah
yang tercipta, sebagai bentuk penegasan rakyat dan kesetiaannya atas
tekad dan semangat Petta Malampeq Gemmekna ini. Keberhasilan Arung Palakka menggandeng Speelman (Belanda) yang kemudian cerita sejarah ini berakhir pada “Cappaya ri Bungaya“
(Perjanjian Bungaya), tahun 1660. Pada saat itu, imperium besar,
kerajaan terbesar di Indonesia Timur, Kerajaan Gowa perlahan – lahan
menuju titik kehancuran. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar