Sejarah panjang perjalanan manusia Luwu dimulai sejak kehadiran Tomanurung
di Tanah Luwu, kehadiran Islam sampai pada penjajahan Belanda dan Jepang serta
kemerdekaan yang diwujudkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam perjalanan panjang itu, sebagai suatu masyarakat yang berdaulat, Luwu
memiliki kekayaan budaya. Wujud kebudayaan disimbolkan dengan sebuah ungkapan
yang sangat terkenal di kalangan manusia Luwu, yaitu “Toddo Puli Temmalara”. Ungkapan ini telah diabadikan pada sebuah monumen
yang berdiri tegak di jantung Kota Palopo, Luwu yang merupakan “jendela dengan
kaca yang bening” adalah untaian kata yang memiliki makna yang dalam mengenai
manusia luwu. Toddo Puli Temmalara
mengandung makna seperti yang tergambar dalam konstruk berikut:
Sadda, mappabati Ada
Ada, mappabati Gau
Gau mappabati Tau
Tau … sipakatau
Mappaddupa
Nasaba
Engkai
Siri’ta nennia Pesseta
Nassibawai
Wawang ati mapaccing, lempu,
getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia
assimellereng
Makkatenni Masse ri
Panngaderengnge na Mappasanre
ri elo ullena
Alla Taala
Berdasarkan konstruk inilah, manusia Luwu berpikir dan bertindak dalam
kehidupan sehari-hari.
PENDAHULUAN
Jika pada sajian ini digunakan
istilah “manusia Luwu”, maka yang perlu dicatat adalah istilah ini tidak
bermaksud mendeskripsikan manusia Luwu seadanya (seperti pengamatan seorang
sosiolog di lapangan). Deskripsi ini berusaha memberikan suatu konstruk teoretis tentang konsep jati
diri manusia Luwu menurut paham Max Weber, yakni “bebas” dari realitas. Jadi,
gambaran tentang manusia yang dideskripsikan pada paparan ini adalah sesuatu
yang abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga manusia Luwu. Gambaran
itu merupakan hasil dari pengalaman, penghayatan, yang selanjutnya dikonstruksikan
secara analitik.
Konstruk teoretis tentang jati
diri manusia Luwu yang dipaparkan dalam makalah ini merupakan perwujudan dari
analisis mengenai kepustakaan Luwu yang disebut Lontara, hasil-hasil analisis
para cendekiawan mengenai peradaban Luwu dan Bugis pada umumnya, serta
pengalaman yang kami terima sebagai putra luwu, yang dilahirkan dan dibesarkan
di tanah Luwu. Kepustakaan yang digunakan untuk mengembangkan konstruk tentang
manusia Luwu meliputi berbagai Lontara, seperti Lontara Paseng, Lontara Maplina
Sawerigading Ri Saliweng Langi, Lontara Sukkuna Wajo, dan Lontara Latoa, serta
berbagai hasil kajian dan pemikiran cendekiawan, seperti Mattulada, Zainal Abidin Farid, Hamid
Abdullah, Fachruddin Ambo Enre, Anhar Gonggong, Harvey, Daeng Mattata, Daeng
Mangemba, Andaya, dan lain-lain mengenai manusia Luwu dan Bugis pada umumnya.
KONSTRUK MANUSIA LUWU
Dari data yang ditemukan dalam
kepustakaan Luwu serta hasil-hasil kajian para cendekiawan manusia Luwu dapat
dikonstruksikan sebagai berikut:
Sadda, mappabati Ada
(Bunyi mewujudkan kata)
Ada, mappabati Gau
(Kata mewujudkan Perbuatan)
Gau, mappabati Tau
(Perbuatan Mewujudkan Manusia)
Tau … sipakatau
(Manusia Memanusiakan Manusia)
Mappaduppa
Mappaduppa
(Membuktikannya dalam Dunia
Realitas)
Nasaba
(Karena)
Enggaki Siri'ta Nennia
Passe'ta
(Kita Memiliki Siri dan Pesse)
Nassibawai
(Disertai dengan)
Wawang ati mapaccing, lempu,
getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia
assimellereng
(Kesucian hati, kejujuran,
keteguhan, keberanian, kerja keras dan ketekunan, kecendekiaan, daya saing yang
tinggi, kemerdekaan, kesolideran)
Makkatenni Masse Ri
(Berpegang teguh pada)
Panngaderengnge na Mappasanre
ri elo ullena
(Panngadereng serta bertawakal kepada)
Alla Taala
(Kekuasaan Allah Yang Maha
Kuasa)
Konstruk tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut. Bunyi merupakan hasil dari persentuhan benda-benda
atau keadaan yang menghasilkan nuansa khas, berupa bunyi-bunyi. Bunyi-bunyi itu
dipandang khas dan memiliki nilai serta kekuatan yang dianggap luar biasa.
Anggapan atas kekuatan itu dihubungkan dengan ilmu gaib yang dapat digunakan
untuk mendapatkan kekuatan lahir maupun batin. Hal inilah yang menimbulkan
dorongan kuat yang menampilkan pribadi yang teguh dalam menghadapi masalah-masalah
kehidupan yang terjelma sebagai sikap, prilaku dan temperamen, baik pada
individu maupun pada kelompok masyarakat.
Orang-orang tua atau leluhur
Luwu menamakannya ilmu-ilmu gaib itu sebagai paddissengeng, dengan segala macam bentuknya, seperti sadda tellu. Sadda paggerra, sadda paremma,
cenningrara, dan akebbengeng,
wawangpurane. Jika kata-kata yang digunakan dalam paddissengeng tersebut dianalisis secara cermat, maka dijumpai
suatu makna yang amat meresap ke dalam emosi seseorang yang menimbulkan
dorongan yang kuat yang menciptakan pribadi yang tangguh untuk menguasai dunia
makro kosmos. Sebagai contoh, untuk memberi keyakinan pada seseorang dalam
menghadapi masalah supaya nyali dan
keberaniannya bertambah, wawangpurane
(kelaki-lakian) berikut dibaca ketika bangun tidur pada pagi hari atau sebelum
meninggalkan tempat tidur sambil duduk bersila, atau ketika menghadapi
lawan-lawan di medan tempur atau dalam negosiasi-negosiasi lainnya.
Bulu temmaruttunna Alla Taala kuonroi maccalinrung;
Engkaga balinna Alla Taala na engka balikku;
Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala
(Gunung yang kokoh kuat
milik Allah Yang Maha Tinggi yang kutempati berlindung;
Tidak ada yang dapat
menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa;
Kalau saya berbicara, tidak
ada lagi yang dapat menyahut, dan kalau saya berpendapat, tidak ada lagi yang
bisa menyanggah)
Sadda atau bunyi sebagai fenomena dalam alam raya ini
memberi manfaat yang amat besar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya
karena bunyi-bunyi itu memampukan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, bunyi-bunyi itu terwujud dalam
suatu susunan yang mengandung makna yang disepakati secara bersama. Susunan
atas bunyi-bunyi itulah yang disebut “ada” atau kata.
Ada atau kata itu digunakan manusia untuk
mengungkapkan perasaan atau pikiran tentang suatu benda atau tindakan. Jadi,
“ada mappabati gau” mengandung makna bahwa bunyi-bunyi yang terwujud berupa
kata yang dicetuskan oleh manusia harus serasi dengan tindakan dalam dunia
realitas. Bagi manusia Luwu keserasian antara perkataan dan perbuatan (ada na gau) adalah perwujudan dirinya
sebagai tau (manusia). Dengan kata
lain, individu yang tidak menyerasikan antara perkataan dan tindakannya berarti
melanggar etika dan martabat kemanusiaan “ia
ada ia gau, taro ada taro gau’ adalah ungkapan yang menegaskan pendirian
manusia Luwu untuk selalu menyerasikan antara “perkataan” dan “perbuatan”.
Dalam pandangan etika Luwu
perbuatan individu tidak dapat dipisahkan dengan individu lainnya karena
dilandasi suatu prinsip pemuliaan martabat manusia yang dalam ungkapan Luwu
disebut “Tau Sipakatau”. Seseorang
dapat disebut manusia kalau ia dapat menempatkan dirinya sebagai “tau” yang
berarti bahwa “kata dan prilakunya itu mendudukkan posisi manusia pada posisi
sebagai manusia yang bermartabat. Prinsip “Tau Sipakatau” itu merupakan pangkal
bagi segala sikap dan tindakan manusia Bugis dalam hidupnya. Jadi, semuanya
berpusat pada manusia itu sendiri. Manusia (tau)
lah yang menjadi penanggungjawab atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Menurut Mattulada (1996)
harkat dan martabat yang menjadi “syirrun” atau “asrar” yang berarti hakikat
seseorang yang pada lidah orang Bugis pada umumnya berarti “siri”, juga
bermakna kalbu atau nurani manusia. Siri
itulah menjadi fokus bagi segala upaya manusia merealisasi diri dalam kehidupan
pribadi dan kemasyarakatannya. Siri
pulalah yang membawanya ke dalam interaksi sosial, yang secara bersama terikat
dalam “Pesse”, yang berarti daya dorong yang kuat untuk mengambil tindakan
“Siri”. Karena itu, apabila terjadi masalah “Siri”, maka sebagai wujud
kendalinya adalah kadar “Pesse” yang ada pada diri setiap individu. Individu
yang memiliki nyali yang besar akan mengambil langkah yang besar pula,
sedangkan individu yang memiliki nyali yang kecil akan bertindak pula sesuai
dengan kadar nyalinya. “Siri” dan “Pesse” adalah dua unsur yang memiliki muatan
utama atau keutamaan pada “Tau”, manusia secara individu.
Berdasarkan pandangan itu terwujudlah performansi khas
manusia Luwu yang tersimpul dalam sebuah frase atau ungkapan, yaitu: TODDO PULI
TEMMALARA. Toddo Puli bermakna
tertancap dengan kuat, berketetapan hati secara sungguh-sungguh; temmalara bermakna tidak goyah. Jadi, toddo puli temmalara berarti
berketetapan batin yang kuat dan tidak tergoyahkan.
A.Toddo Puli Temmalara ri Wawang Ati Mapaccinnge
Nassibawai Alempureng (Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih
disertai dengan Kejujuran).
Ati mapaccing berarti bawaan hati yang baik. Manusia Luwu dan manusia Bugis pada umumnya
menjadikan bawaan hati, niat atau pikiran yang baik sebagai “perisai” dalam
kehidupan. Dalam Paseng disebutkan:
“Duai Kuala
Sappo, unganna panasae, belo kanukue.” (Dua kujadikan pagar, bunga nangka,
hiasan kuku.)
Buah nagka disebut “lempu” . Kata ini juga bisa berarti “kejujuran”, dan “belo kanuku”
disebut “pacci” yang kalau ditulis
dalam aksara Bugis dapat dibaca “paccing”
yang berarti “kesucian.” Pada acara pernikahan, kedua benda ini, yaitu pacci dan lempu merupakan hal yang
sangat penting untuk diadakan karena simbol ini mengandung makna yang sangat
dalam yang mewarnai kehidupan manusia Luwu dan Bugis pada umumnya, yaitu
kesucian dan kejujuran. Hal ini merupakan modal utama dalam mengharungi
kehidupan keluarga dan sebagai anggota masyarakat.
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor
pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat
lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi
manusia Luwu, hati dan pikiran yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam
kehidupan. Dalam Lontara disebutkan:
Empat hal yang membawa kepada kebaikan:
a.Pikiran yang benar,
b.Jualan yang halal,
c.Melaksanakan perbuatan
benar,
d.Berhati-hati menghadapi perbuatan buruk
Dalam kehidupan sehari-hari
manusia Luwu, harus selalu bersikap waspada terhadap pengaruh-pengaruh yang
dapat melunturkan niat atau bawaan hati yang baik karena niat yang baik kadang-kadang
dapat terkalahkan oleh dorongan-dorongan nafsu keserakahan dan buruk lainnya,
yang selanjutnya membangkitkan niat-niat yang jahat. Dalam Paseng disebut: Empat macam yang memburukkan niat dan
pikiran, yaitu (i) kemauan, (ii) ketakutan, (iii) keengganan, dan (iv)
kemarahan.
Di samping hati yang tulus, bawaan hati dan pikiran
yang baik, yang menjadi perisai dalam kehidupan manusia Luwu, kejujuran
merupakan hal yang sangat mendasar. Lempu
(lurus, kejujuran) lawan katanya adalah jekko
(bengkok, culas, curang, dusta, khianat, seleweng, tipu, dan semacamnya).
Menurut Lontara, manusia yang jujur memiliki empat ciri, yaitu: (i) ia dapat
melihat kesalahannya sendiri, (ii) mampu memaafkan kesalahan orang lain, (iii)
kalau ia diberi kepercayaan untuk menangani suatu urusan, ia tidak berhianat,
dan (iv) ia menepati janji yang diucapkan.
Bagi manusia Luwu, orang yang jujur adalah manusia
yang menjadikan dirinya sebagai titik tolak. Dalam ungkapan disebutkan:
Kabbecci alemu iolo inappa mukabbecci taue lainnge (cubit dirimu lebih
dahulu sebelum engkau mencubit orang lain).
Dalam ungkapan lain disebutkan: Apabila
engkau menghendaki agar sesuatu dikerjakan orang banyak, umpamakanlah perahu,
apabila engkau suka menaikinya, perahu itulah yang engkau gunakan untuk memuat
orang lain, itulah yang dimaksud kejujuran. Maksud kutipan ini adalah
setiap orang haruslah bersikap fair.
Orang yang jujur selalu memperlakukan orang lain menurut standar yang
diharapkan dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati orang lain,
sebagaimana ia menghormati dirinya sendiri. Ia menghormati hak-hak orang lain
sebagaimana ia menghormati hak-haknya. Manusia yang dapat berlaku jujur
terhadap orang lain adalah manusia yang dapat berlaku jujur pada dirinya
sendiri.
Pada saat Raja Luwu menerima Datuk Sulaiman yang akan
mengajaknya memeluk Islam, dia berjanji memeluk Islam dengan ketentuan bahwa
Datuk Sulaiman harus bisa mengalahkan kelebihan-kelebihan Raja yang harus
dipersandingkan terlebih dahulu. Tetapi setelah Raja kalah dalam persandingan
itu, dia dengan tulus dan ikhlas menerima kekalahannya. Ia tidak mangkir dari
janjinya dan bersikap fair atas
kekalahannya. Akhirnya, Raja menerima Islam sebagai agamanya, yang selanjutnya
diikuti oleh rakyatnya. Sikap jujur dan fair
yang telah ditunjukkan oleh Raja dalam persandingan itu merupakan manifestasi
dari jati diri manusia Luwu.
B.Toddo Puli Temmalara ri Assimellerennge (Teguh tak Tergoyahkan pada Persaudaraan)
Assimellereng mengandung makna kesolideran,
kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota
keluarga yang lain, atau antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain.
Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan
penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan
menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa
seseorang juga dikenal dengan konsep sipa’depu-repu
(saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak
keluarga, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette perru.
Bagi manusia Luwu, kesetiaan
pada persaudaraan adalah keharusan. Dalam kehidupan sehari-hari, manisfestasi
tentang kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan: Tejjali tettappere banna mase-mase (Kami
tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada Tuan: tiada permadani, sofa
empuk untuk mendudukkan Tuan. Yang kami miliki hanyalah kasih sayang). Bagi
manusia Luwu menghargai tetamu adalah keharusan. Maka tidak jarang kita jumpai
seorang tuan rumah sibuk mempersiapkan makanan yang sangat lezat bagi
tetamunya, padahal dia sendiri tidak melakukannya dalam kehidupanya
sehari-hari. Hal ini dilakukan hanyalah semata-mata untuk memberikan yang
terbaik kepada saudaranya, sesamanya.
Adapun syarat eratnya
persaudaraan itu meliputi 5 hal, yaitu (1) mau sependeritaan, (2) sama-sama
merasakan kegembiraan, (3) rela memberikan harta benda sewajarnya, (4) ingat
mengingatkan pada hal-hal yang benar, dan (5) selalu saling memaafkan. Dasar
persaudaraan itu dapat terlimpul dalam ungkapan berikut.
Mali
siparappe, malilu sipakainge
Sirebba tannga tessirebba
pasorong
Padaidi pada
elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui no.
(Kita saling mengulurkan
tangan ketika hanyut,Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata. Saling
mengangkat dan tak saling menjatuhkan. Berbeda pendapat, tetapi tidak
menyebabkan adu kekuatan).
Dalam Mapalina Sawerigading Ri
Saliweng Langi, Sawerigading sebagai tokoh sentral dalam cerita menunjukkan
kesetiakawanan yang sangat tinggi seperti tertera dalam kutipan berikut:
janganlah ada di antara kita sudi kembali ke Luwu sebagai mayat hidup. Satu nyawa bagi kita bersama. Pada kutipan itu tergambar bahwa kesetiakawanan adalah segala-galanya, walaupun nyawa sebagai taruhannya.
C. Toddo Puli Temmalara ri Resoe
(Teguh tak Tergoyahkan pada Usaha).
Reso berarti usaha dan tinulu berarti
tekun. Dalam ungkapan disebutkan:
Resopa natinulu kuae topa
temmanginngi malomo naletei pammase Dewata
(Hanya dengan usaha/kerja keras disertai dengan
ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi).
Ungkapan itu memberi petunjuk bagi manusia Luwu bahwa
tidak akan ada rizki yang melimpah tanpa disertai dengan kerja keras. Artinya,
untuk mendapatkan rizki (dalle) tidak
dapat diperoleh dengan hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Rizki tidak boleh
diperoleh dengan meminta-minta atau mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Dalam ungkapan lain disebutkan:
“Wahai anak-anak! Tidak adakah pekerjaannmu sehingga engkau tinggal
nongkrong di pinggir jalan. Jika tidak ada, pergilah ke Baruga (balai
pertemuan) mendengar soal adat, ataukah ke pasar mendengar warkah para
penjual”.
Ungkapan di atas memberi himbauan kepada para pemuda
untuk mencari bekal hidup (life skill)
berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan agar dapat menjadi modal hidup untuk
berusaha. Selanjutnya, dalam ungkapan yang berbeda ditekankan:
“Janganlah membiasakan dirimu pada empat jenis
perbuatan: (1) meminta-minta, (2) meminjam-minjam, (3) memperoleh upah dari
suruhan orang lain, dan (4) menumpang makan pada orang lain”.
Ungkapan di atas menunjukkan
ajaran kemandirian. Perbuatan meminta-minta, meminjam, memperoleh upah dari
suruhan orang lain, serta menumpang makan di rumah orang lain termasuk
perbuatan yang tidak terpuji. Setiap orang haruslah berusaha sekuat tenaga dan
pikiran untuk mendapatkan rizki yang halal (massappa
dalle hallala). Manusia Luwu harus yakin (toddo puli) bahwa dalam meniti kehidupan, keberhasilan hanya dapat
diperoleh melalui kerja keras dan ketekunan serta memanfaatkan akal pikiran
atau ilmu pengetahuan.
Seorang lelaki pemalas, enggan
bekerja keras, atau tidak mempunyai kepandaian dan keterampilan hidup amat
tercela dalam adat Luwu. Orang yang demikian itu tidak dipandang sebagai pria,
tetapi dipandang sebagai banci. Dalam
ungkapan disebutkan:
Empat macam sifat lelaki sehingga ia dipandang sebagai wanita dan tidak
diperhitungkan sebagai lelaki, yaitu: (1) ia pemalas, (2) ia lemah, (3) ia
dungu, dan (4) ia bodoh. Dalam ungkapan ini tergambar dengan jelas bahwa, ilmu
pengetahuan dan keterampilan, serta ketekunan berusaha dalam meniti kehidupan
ini sangat diperlukan. Dengan demikian,
seorang yang memperoleh harta benda dengan cara yang tidak benar seperti
bertindak korup sangat tercela dalam adat Luwu dan Bugis pada umumnya. Hal ini
tergambar pada ketetapan Sawerigading untuk selalu menjaga nama baik negeri
Luwu pada saat ia ditawarkan untuk berdamai dengan raja di negeri Saliweng
Langi, Guttu Tellamma. Guttu Tellemma menawarkan hadiah berupa sejumlah harta
benda berharga kepada Sawerigading asal
Sawerigading mau melupakan pertikian di antara mereka. Tetapi, Sawerigading
menolak menerima tawaran itu. Dia pantang menerima suap dari manapun. Usaha
keras dan kegigihan untuk mencapai keberhasilan tergambar pula dalam peristiwa
perjuangan Sawerigading untuk mempersunting We Cudai di Tanah Cina. Walaupun
Sawerigading harus menghadapi berbagai macam tantangan, ia tak pernah gentar
hingga usahanya benar-benar berhasil.
D.Toddo Puli Temmalara ri Panngaderennge (Teguh tak Tergoyahkan pada Panngadereng).
Panngadereng, yaitu Ade (adat), Rapang (undang-undang), Wari (aturan perbedaan pangkat
kebangsaan), Bicara (ucapan, bicara), dan Syara
(hukum syariat Islam). Yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut adalah
asas.
1. Mappasilassae, diwujudkan dalam manisfestasi ade agar terjadi keserasian dalam sikap
dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngadereng. Di dalam tindakan-tindakan
operasionalnya, ia menyatakan diri dalam usaha-usaha mencegah sebagai tindakan
penyelamatan.
2. Bappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade, untuk
keberlangsungan pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilitas perkembangan
yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang.
3. Mappallaiseng, diwujudkan dalam manifestasi ade,
untuk memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan
lembaga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan
ketertiban, dan kekacaubaluan. Hal ini dinyatakan dalam wari dalam segala variasi perlakuannya.
4. Mappasisaue, diwujudkan dalam manisfestasi ade untuk
menimpakan deraan pada setiap pelanggaran ade yang dinyatakan dalam bicara. Asas
ini adanya pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di
samping itu asas ini dilengkapi dengan siariawong yang diwujudkan dalam
manifestasi ade untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap
orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Syara adalah aturan syariat
Islam yang menjadi unsur panngadereng.
Bagi masyarakat Luwu dan Bugis
pada umumnya, panngadereng merupakan
unsur yang paling penting dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena:
1. Manusia Luwu telah menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial
budayanya dan telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya
dengan berpedoman pada panngaderenglah
ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin.
2. Sistem sosial berdasarkan ketetapan panngadereng
telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup manusia Luwu. Mereka
percaya dan sadar bahwa hanya dengan panngaderenglah
pola hidupnya, kepemimpinannya serta segala bentuk interaksi sosialnya
dapat terwujud.
3. Di dalam pangngadereng terdapat unsur kepercayaan yang hakiki yang
harus ditaati. Karena dengan pangngadereng itulah, pola tingkah laku yang
terbimbing sehingga pemimpin dapat bersikap lebih jujur, arif, serta berpihak
kepada orang banyak.
Bagi masyarakat Luwu, adat
adalah segala-galanya. Seseorang hanya tunduk pada peraturan-peraturan adat
menurut hukum-hukum yang yang telah disepakati. Adat menjamin kebebasan mereka
dan tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan adat. Masyarakat bersama-sama dengan pemimpinnya menentukan
nasib masa depannya. Perlakuan sewenang-wenang dari seorang penguasa tidak
mendapat tempat dalam sistem panngadereng.
Bagi masyarakat Luwu dan Bugis pada umumnya adat adalah tuannya, bukan
penguasa. Baik pemimpin maupun masyarakat harus tunduk dan taat pada adat atau
hukum yang berlaku. Dalam Lontara
Sukkuna Wajo ditegaskan: Maradekakeng,
tanaemi ata, ade assiturenna Wajo napopuang.
(Kami merdeka, hanya negeri yang abdi, hukum yang telah disepakatilah yang
kami pertuan).
E. Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae(Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak.
E. Toddo Puli Temmalara ri Taro Taumaegae(Teguh tak Tergoyahkan pada Ketetapan Orang Banyak.
Lontara telah menempatkan
manusia pada posisi yang amat penting. Ia menempati sebagai posisi subjek yang
mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam
kehidupan bernegara, rakyat adalah segala-segalanya. Bilamana dalam suatu
perkara, terdapat ketidaksepahaman di antara pemimpin dan masyarakat, maka hal
itu harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam sebuah ungkapan disebutkan: Rusa
taro arung, tenrusa taro ade,rusa taro ade,tenrusa taro anang,rusa taro
anang,tenrusa taro tomaega. (Batal ketetapan raja, tak batal ketetapan
adat, Batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tak
batal ketetapan orang banyak (rakyat).Ketika putri raja Luwu terserang penyakit
kulit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga sangat menghawatirkan
berjangkitnya kepada masyarakat, maka datanglah utusan rakyat menghadap Raja.
Wakil rakyat berkata: Tuanku, mana yang Engkau sukai Telur yang Satu, atau Telur yang Banyak?
Raja yang sangat peka terhadap ungkapan rakyatnya itu sangat memahami bahwa
yang dimaksud dengan Telur yang Satu adalah putrinya sendiri yang sedang sakit
itu dan Telur Yang Banyak adalah rakyatnya. Maka berkatalah raja: Tentu saja saya sangat mengutamakan Telur
Yang Banyak. Akhirnya, puteri yang sangat dicintainya itu dikeluarkan dari
istana dan dialirkan ke sungai yang akhirnya terdampar pada suatu tempat yang
bernama sakkoli (sekke uli) di daerah Wajo saat ini. Raja hanya bisa bertawakkal
kepada Yang Maha Kuasa agar putrinya mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa (mappasanre ri elo ullena Alla Taala).
Raja sebagai seorang pemimpin amat memegang teguh pada
kewajibannya, sebagaimana disebutkan dalam Lontara: Engkau kuselimuti supaya
tidak kedinginan,terhindar dari bahaya dan berbagai kesukaran engkau kujaga
bagaikan mengusir burung pipit supaya tanaman padi tidak hampa Raja menjaga
jiwa rakyat dan harta benda saya membela kesalahan-kesalahanmu Raja mendengar
semua keluh kesah rakyatnya.
Ungkapan di atas, menegaskan pengayoman raja terhadap rakyatnya. Ia rela menjadi “payung” bagi rakyatnya. Kedudukan rakyat dalam struktur sosial manusia Luwu dan Bugis telah mendapat tempat yang terhormat dan diusahakan untuk selalu dilindungi. Kondisi sosial yang menempatkan manusia pada kedudukan yang tidak terbelenggu oleh tradisi dan tidak dijadikan sebagai objek politik oleh penguasa telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, baik yang menyangkut masalah kedamaian hidup yang selalu didambakan oleh setiap manusia di muka bumi, maupun masalah yang menyangkut kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Kondisi sosial yang menguntungkan ini, menjadikan manusia Luwu dapat stabil dalam memelihara harga dirinya dan martabatnya.
Ungkapan di atas, menegaskan pengayoman raja terhadap rakyatnya. Ia rela menjadi “payung” bagi rakyatnya. Kedudukan rakyat dalam struktur sosial manusia Luwu dan Bugis telah mendapat tempat yang terhormat dan diusahakan untuk selalu dilindungi. Kondisi sosial yang menempatkan manusia pada kedudukan yang tidak terbelenggu oleh tradisi dan tidak dijadikan sebagai objek politik oleh penguasa telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, baik yang menyangkut masalah kedamaian hidup yang selalu didambakan oleh setiap manusia di muka bumi, maupun masalah yang menyangkut kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Kondisi sosial yang menguntungkan ini, menjadikan manusia Luwu dapat stabil dalam memelihara harga dirinya dan martabatnya.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha
bertindak secara wajar (sitinaja). Sesuatu yang dibebankan kepada rakyat harus
sesuai dengan pertimbangan yang wajar. Komitmen raja selaku pemimpin untuk
selalu bertindak wajar tertuang dalam Getteng
Bicara di Luwu sebagai beikut:
“Takaranku kugunakan untuk menakar, timbanganku kugunakan untuk menimbang,
yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang
tinggi saya tempatkan di atas”.
Menurut Abdullah (1985:86), teori kontrak sosial yang
diproklamirkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contract Social sesungguhnya telah
dijalankan dalam sistem kepemimpinan manusia Luwu dan Bugis kira-kira 300 tahun
sebelum teori itu diperkenalkan oleh cendekiawan Eropa yang sedang berusaha
menemukan suatu sistem yang paling tepat untuk masyarakatnya pada abad XVIII.
Unsur-unsur yang menjadi tekanan Rousseau dalam teorinya itu, seperti
kebebasan, batas-batas kekuasaan pemimpin, hak-hak rakyat, peran wakil-wakil
rakyat, serta sanksi terhadap penguasa yang melanggar, telah tercipta dalam
dunia realitas masyarakat Luwu dan Bugis dan menjadi prinsip hidup masyarakat
sejak abad XV.
Semoga Bermanfaat,..
wassalam ^_^
0 komentar:
Posting Komentar