Muhammad Husain Thabathaba’i

|

Ayatullah Allamah  Muhammad Husain Thabathaba’i dilahirkan pada tanggal 29 Dzulhijjah 1321 H / 1903 M di desa Shadegan (Propinsi Tabriz)  dalam satu keluarga keturunan Nabi Muhammad Saw yang selam 14 generasi menghasilkan ulama-ulama terkemuka di Tabriz. Thabathaba’i muda dibesarkan dalam keluarga ulama intelektual dan religius.  Ketika usia duapuluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya. Disana ia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua diantara syaikh-syaikh terkemuka masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani.
Namun menjadi Mujtahid bukan tujuannya. Thabathaba’i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa’id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba’i.
Thabathaba’i juga mempelajari ‘ilmu Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Allah SWT), atau ma’rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual. Sebelum berjumpa dengan Syaikh ini, Thabathaba’i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibnu Arabi. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenarnya ia belum tahu apa-apa. Berkat sang Syaikh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual.
Yang membedakannya dari Mulla Shadra dan Sabzewari ialah bahwa ia tidak menggabungkan dzayq dengan nalar. Ia sangat menjunjung Faidh al-Kasyani, karena begitu menguasai ilmu-ilmu keislaman sehingga tidak pernah memasukkan  sebuah disiplin ilmu ke disiplin yang lain. Demikian pula ia memuji Ibnu Sina dan menganggapnya lebih kokoh dari Mulla Shadra dalam burhan dan argumentasi filosofis. Namun pada saat yang sama, ia terheran-heran oleh implementasi bru Mulla Shadra terhadap filsafat Yunani dengan teori-teori seperti ashalatul-wujud, ittihadul-aqil wal-ma’qul dan al-haraktul-jauhariyyah. Ia menganggap filsafat Mulla Shadra lebih mendekati kenyataan. Juga menghargai kezuhudan dan khalwat Mulla Shadra.
Thabathaba’i adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati masyarakat muslim karena mujtahid yangmendapat gelar unik al-allamah (yang sangat pandai). Namun pada saat yang sama, ia cukup mengenal baik dunia barat dan suasana kejiwaan para pembaca barat.

0 komentar:

Syukraan...Terima Kasih Telah Berkunjung Disini Semoga Betah Berkunjung Jangan Lupa Isi Buku Tamunya Ya Dan Follow Me Di Facebook, Twitter Atau Diblogger, Dapatkan Informasi Postingan Terbaru Dari Blog Ini ^_^